Tempe, Sambel dan Ikan Asin (persaudaraan dalam bumbu kesederhanaan)

By Riki Rachman Permana - Tuesday, December 15, 2009

Sudah genap satu tahun aku tinggal di Jakarta. Menempuh sebuah petualangan intelektual yang insya allah dapat merubah diriku menjadi manusia yang lebih “bernilai”. Setiap harinya kujalani petualangan ini dengan penuh hikmah dan pelajaran, setiap frame kehidupan yang aku temukan menjadi sebuah potret berharga tentang pelajaran hidup yang harus benar-benar aku camkan. Perjuangan hidup adalah perjuangan untuk bertahan, bertahan dari kerasnya dunia, bertahan dari rakusnya orang-orang yang sama-sama ingin meraih mimpinya, menjemput bintangnya.


Aku, diriku pun memiliki sejuta harapan, sejuta bintang dan cita-cita dilangit yang ingin kuraih. Aku sadar, aku sedang melakoni tokoh seorang pemuda 19 tahun yang rapuh, yang kini terdampar di arena pertempuran hidup. Setiap tetesan keringat yang terkucur karena panasnya kota ini insya allah akan menjadi saksi perjuanganku dalam menjemput sejuta mimpi yang selalu kukejar.


Tidaklah mudah menjalani lakon ini, namun, selalu aku bersyukur karena aku dikelilingi mutiara bangsa yang semakin terasah kilaunya, mereka sahabat-sahabatku disini, 22 orang yang masing-masing memiliki “something different” yang memiliki sesuatu yang bersinar yang kadang membuatku malu, malu karena terlalu “manja” dalam menjalani masa muda yang begitu menantangnya.

Selama 1 tahun ku tinggal seatap sebumi dengan mereka, setiap harinya pun aku belajar, tentang perjuangan, harapan, cita-cita dan kepercayaan. Percaya bahwa apa yang sedang kami jalani akan membuahkan hasil di masa mendatang.


Malam ini, tepat pukul 18.36 kembali aku belajar tentang kesederhanaan, kekeluargaan dan persaudaraan. Salah seorang sahabat sedang sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam, menyiapkan sambal dengan bumbu ala “sebisanya”, tempe “bekas masak tadi pagi”, dan ikan asin (yang kami dapat dari semenjak sebelum ramadhan). Perut ini tak bisa membohongi bahwa aku pun lapar, ingin mencicipi masakan yang ia buat. Setelah semuanya siap, dia menawariku untuk makan bersama, tak dapat kutolak permintaannya, bertiga kami menyantap makan malam ala kadarnya, tempe goring, ikan asin dan ditemani pedasnya cabai merah.

Sambil makan teringat sepak terjangku sebelum kuliah, sering kali aku mengajukan interupsi kepada ibu dan nenek yang saban harinya memasak masakan untuk kami sekeluarga, namun kini yang kurasa jauh berbeda, dengan nuansa kebersamaan, ditemani bumbu persaudaraan, masakan yang beberapa detik lalu kami santap menjadi sangat nikmat, hampir dua piring diriku menambah nasi yang dengan lahapnya aku santap, bayangakan! Beberapa potong ikan asin, dan hanya beberapa potong tempe dan secuil cabai kami santap bertiga! Dan semuanya habis…dengan keterbatasan lauk yang apa adanya, kami berbagi, berbagi “kebahagiaan”, berbagi rezeki dan saling membuka ruang untuk terus menikmati indahnya malam diselimuti angin persaudaraan…

  • Share:

You Might Also Like

2 komentar

Halo, gimana pendapatmu setelah membaca tulisan di atas?