Batik Priangan, Antara Pesona dan Realita

By Riki Rachman Permana - Monday, May 09, 2011

Aku terlahir di Bandung, 20 tahun silam, nama Priangan untuk bumi Bandung dan Jawa Barat merupakan kata yang tak asing terdengar olehku maupun oleh anak-anak lainnya yang lahir di Jawa Barat. Kata "Priangan" berasal dari kata "Parahyangan" yang berarti "tempat para dewa", Jawa Barat dengan pesona panoramanya membuat banyak orang tersipu akan keindahan kota, suasana maupun kearifan masyarakat Sunda. Priangan yang merujuk pada bumi Jawa Barat hingga kini terus dipakai sebagai bentuk apresiasi terhadap budaya Sunda.


Salah satu produk budaya Priangan adalah kain Batik. Di Jawa Barat sendiri, berdasarkan beberapa catatan sejarah menyebutkan, batik dan kebudayaan membatik tertua berasal dari daerah Banten, kain batik di Banten dikenal dengan nama "Simbut" yang berarti selimut dalam bahasa Indonesia. Membatik merupakan tindakan yang terikat pada tata nilai sosial budaya dalam masyarakat Sunda khususnya. Bagi Pengrajin batik sendiri, untuk menghasilkan sebuah karya kain batik diperlukan pengetahuan tentang ragam rias, makna dibalik motif, pakem dan teknik yang mumpuni. Jika membaca penjelasanku tadi, maka hal yang kerap terpikirkan adalah betapa batik telah menjadi kekayaan budaya nusantara, karena ada nilai-nilai filsafat kehidupan yang tersimpan dalam sehelai kain batik dan diwariskan dari generasi ke genarasi selama puluhan tahun.

Sumber pengetahuan tentang ragam rias dan makna motif batik serta tekniknya didapatkan oleh para pengrajin batik Priyangan dari sistem pengetahuan, tata nilai dan proses interaksi yang turun temurun diwariskan. Kebanyakan inspirasi membatik berasal dari peristiwa sejarah, keadaan alam (flora/fauna), sistem nilai dan tata budaya. Batik bagi sebagian masyarakat di Jawa Barat tidak hanya sekedar kain yang memancarkan pesona lewat keelokan motif dan coraknya, tetapi batik telah menjadi bagian dari tata nilai kehidupan yang selama ini terus dijaga pakem-nya.

Citra dari batik Priangan sendiri menggambarkan kesederhanaan masyarakatnya, apa adanya, keterbukaan, pluralis, komunikatif, cantik dan terkadang sedikit genit khas orang Sunda :)
sekitar dua tahun lalu, UNESCO, sebuah lembaga PBB memberikan pengakuan terhadap batik Indonesia sebagai warisan dunia tak benda pada bulan Oktober 2009. Hal ini menjadi penyemangat bagi para pelaku industri batik, ibarat angin surga yang kembali merangsang geliat industri batik untuk lebih bergairah setelah hampir mengalami stagnansi. Batik kian dikenal dan dipakai oleh banyak masyarakat dewasa ini, jika dulu anak-anak muda kerap malu mengenakan batik, lain halnya dengan sekarang. Batik tidak hanya dipakai untuk kondangan saja, namun batik kerap dipakai dalam acara formal, pesta maupun sekedar jalan-jalan santai :)

Penghargaan UNESCO terhadap batik dalam realitanya tidak begitu berpengaruh terhadap batik Priangan, hal ini karena batik Priangan sendiri keberadaannya belum begitu dikenal oleh masyarakat luas seperti batik Pesisiran Cirebon dengan motif Megamendung-nya yang lebih populer dan berkembang jauh lebih awal dibandingkan batik Priangan. Secara jelas, batik Priangan merupakan kain batik yang berasal dari daerah jantung kebudayaan sunda seperti wilayah kota/kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.

Kondisi industri batik Priangan saat ini hanya berjalan di tempat (stagnan). Tiga faktor yang menyebabkan lemahnya geliat batik Priangan adalah :
  • Tidak terjadinya pewarisan nilai dan pengetahuan seni pembuatan batik dari generasi tua ke generasi muda. Dewasa ini, memang tidak dapat disangkal, sebagian pemuda yang tinggal di sentra batik Priangan secara finansial ingin mengejar kesuksesan dengan berprofesi tidak sebagai pengrajin batik, impian akan kesejahteraan yang dapat diperoleh dari pekerjaan lainnya membuat banyak pengrajin batik saat ini tidak mewariskan pengetahuannya seputar pakem membatik kepada anak-anak maupun keluarga generasi mudanya;
  • Manajemen produksi yang lemah, sistem produksi batik yang selama ini masih sangat tradisional dengan modal terbatas kerap tidak mampu bersaing dengan produksi batik skala massal di kota-kota besar lainnya, sehingga hal ini menjadi salah satu penyebab lemahnya geliat industri batik Priyangan;
  • Kemampuan pemasaran (distribusi) yang masih bergantung pada pasar lokal. Kebanyakan pengrajin batik hanya mengandalkan pasar lokal sebagai area distribusi, ketika pasar sedang ramai (menjelang lebaran) industri batik cukup terangkat, namun di bulan-bulan lainnya, rasanya seperti berjalan di tempat, "kalau laku ya syukur, kalau tidak juga ya tidak apa-apa, namanya juga jualan" itulah ungkapan yang sering dilontarkan oleh para pengrajin batik Priangan hingga saat ini. 

Status UNESCO untuk batik Indonesia sebagai warisan budaya bersifat tidak paten, artinya jika kita sebagai pewaris tradisi seni kriya batik tidak mampu menjaga keberadaan, kelestarian dan kearifannya, maka sewaktu-waktu UNESCO bisa mencabut kembali status batik Indonesia. Ragam corak dan motif batik, tidak hanya indah untuk dilhat dan menjadi kebanggaan bagi kita sebagai pemakainya, jauh di luar sana, tersimpan banyak cerita tentang liku-liku batik Priangan untuk terus bertahan dan lestari. Antara pesona dan realitanya, tersembunyi banyak kisah untuk terus bertahan. Batik Priangan.


Referensi :
Buku The Dancing Peacock, Colours and Motifs of Priyangan Batik. karya Didit Pradito, Herman Jusuf dan Saftiyaningsih Ken Atik

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar

Halo, gimana pendapatmu setelah membaca tulisan di atas?